Isnin, 8 Julai 2019
Trilogi Jurusan Sekolah Menengah Atas, Ini Penjelasannya
Oleh: Khairuddin, S.Pd., M.Pd
Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat IGI
Kurikulum pendidikan kita selalu berbeda pada pemilihan jurusan di tingkat menengah atas, SMA dan Madrasah Aliyah. Misalnya saat sy sebelum SMA, pilihannya Fis, Bio, IPS dan Bahasa. Saya agak bingung, meski rumpun sains, namun Fisika dan Biologi dipisah. Saya sendiri mengalami kurikulum 94 yang pemilihan jurusan di kelas 3, IPA, IPS dan Bahasa. Kurikulum KBK 2004 lalu bermetamorfosa menjadi KTSP 2006, pemilihan jurusan dimulai di kelas XI (sudah menggunakan istilah X, X, XII untuk SMA merujuk pada wajib belajar 12 tahun) dengan pilihan jurusan IPA, IPS dan Bahasa. Perubahan signifikan terjadi pada K13 yang kerap mengalami revisi, pemilihan jurusan dimulai di kelas X dengan tiga peminatan MIPA (Matematika dan Ilmu Alam), IS (Ilmu Sosial) dan Bahasa.
Dominan sekolah menyelenggarakan hanya dengan dua jurusan, MIIA dan IS. Kekurangan guru yang bersertifikasi Bahasa serta Astronomi menjadi salah satu faktor jurusan ini jarang dibuka terutama sekolah-sekolah di kampung. Lalu apakah siswa sendiri yang memilih jurusan ? Sebagian kecil iya, sebagian besar sekolah, guru yang memilihkan atau menetapkan bagi siswa. Melalui apa kriteria jurusan siswa ? Sepenuhnya berada pada kewenangan sekolah. Sebagian besar melalui wawancara dan tes awal masuk sekolah, namun ada sekolah yang sampai menyewa jasa psikolog untuk menggali lebih jauh minat siswa, lalu baru ditetapkan jurusan, ini terjadi di MAN Insan Cendekia.
Tapi banyak sekolah, jurusannya lebih dahulu ada karena distribusi guru untuk jurusan itu lebih banyak, lalu siswa baru diplotkan memenuhi jurusan. Misal, suatu sekolah yang guru Matematika, Fisika, Biologi atau Kimia lebih banyak dari guru Sejarah, Geografi, Sosiologi atau Ekonomi maka jurusannya MIPA lebih banyak dari IS. Siswa baru ditempatkan untuk memenuhi MIA dulu baru kemudian IS, meski sebenarnya pada formulir tertera pilihan jurusan anak. Tak heran terkadang anak tidak sanggup di MIPA, memilih MIPA karena temannya, diloloskan sistem karena pemenuhan jurusan, tapi saat proses pembelajaran nantinya siswa tersebut sangat kesulitan mengikuti, bahkan ada yang frustasi tidak sanggup sekolah lagi.
Pemilihan jurusan oleh anak bisa sangat beragam, bisa karena mengukur dirinya mampu ke suatu jurusan, bisa ikut-ikutan teman saat mendaftar, bisa desakan orangtua. Terlebih Kurikulum K13 sangat unik, meski siswa berada pada jurusan MIPA, namun dia bisa mengambil satu pelajaran IS atau Bahasa untuk dipelajarinya, ini disebut pelajaran Lintas Minat. Begitu juga jurusan IS yang bisa mengambil Lintas Minat dari jurusan MIPA atau Bahasa. Jurusan Bahasa juga demikian yang siswanya bisa mengambil pilihan lintas minat di peminatan MIPA dan IS. Menurut saya upaya ini bagus untuk mengharmonisasi bakat siswa.
MIPA atau IPA selalu menjadi jurusan favorit di sekolah dengan pola penyediaan jurusan oleh sekolah. Anak-anak MIPA bahkan termasuk pada kurikulum sebelumnya selalu menjadi sarang anak-anak pilihan, cerdas, berbakat, besar minatnya melanjutkan pendidikan tinggi. Akibatnya banyak orangtua ikut intervensi, meski anak tak berbakat, orangtua memaksa, bisa jadi pula karena gengsi profesi dan sosialita orangtua. Anak-anak IS atau IPS kerap distigma sebagai anak-anak gagal cerdas sains, anak-anak badung relatif sulit diatur, kondisi psikososial unik. Anak-anak IPS akhirnya tergabung dalam lingkungan yang "kufu" sesamanya, kalaupun tidak minder boleh jadi semakin nakal, terutama pada usia pubertas mereka. Sayangnya saya mengamati hal kurang baik dari guru, pada anak-anak IPA pelayanan guru cenderung lebih maksimal ketimbang anak IPS, bahkan ada guru yang meminta untuk tidak mengajar di kelas tertentu jurusan IPS karena tidak mau stroke katanya. Saya tidak berani mengurai fenomena kelas Bahasa karena tidak pernah mengajar di sekolah yang ada jurusan Bahasa.
Sebagai guru dengan ratusan alumni, saya mengamati hal unik sebenarnya. Lulusan IPS dengan "kenakalan"nya justru punya kecakapan komunikasi dan kreativitas yang lebih baik dari anak-anak IPA yang senang berpikir linier dan sistematis ibarat menyelesaikan soal matematika penuh sintaksis yang rapi. Akibatnya, saat mencari kerja dengan bahasa "olahan"nya, anak-anak IPS mudah lulus tes wawancara ketimbang IPA, meski bisa jadi nilai tesnya lebih rendah dari anak IPA. Terkadang kemampuan verbal saat mencari kerja lebih diutamakan ketimbang hasil tes tulis. Banyak anak-anak IPS yang nakal itu pada dunia kerja lebih berhasil, mereka menjadi bos untuk anak-anak IPA yang penurut 😁. Namun banyak juga anak-anak IPA yang bertransformasi di organisasi punya kreativitas berpikir terbuka dan inovatif, lalu sangat berhasil di dunia kerja bahkan bewiraswasta mandiri. Saya juga mengamati anak-anak IPA yang kuliah di jurusan IPS bisa paripurna dalam berpikir dan berkreasi.
Kini saya berharap, baik penyelenggara pendidikan, orangtua, guru agar menghilangkan dikotomi atau trikotomi (karena tiga jurusan) bahwa jurusan A lebih baik dari jurusan B, lebih prospekstif, lebih menyenangkan, lebih mudah mengelola. Bagi guru misalnya, semua jurusan menyenangkan meski kesulitan konten belajar tetap berbeda, Matematika IPA lebih sulit ketimbang IPS, namun kewajiban melayani tetap sama. Anak IPA atau IPS sama-sama menyenangkan saat kita sefrekuensi dengan mereka. Bagi orangtua sesungguhnya pilihan anak adalah harga mati yang membuat mereka hidup di dunianya nanti, gali keinginan dan potensi anak secara utuh, fasilitasi keinginan tersebut, perbesar rasa syukur atas apapun pilihan anak.
Mau MIPA, IS atau Bahasa adalah pilihan-pilihan cerdas untuk menghidupkan bakat dan potensi anak menjadi lebih berguna di usia dewasanya kelak.
Wallahu'alam
Matangkuli, 8 Juni 2019
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan