Ahad, 24 Januari 2021

Jantung Hati Yang Terkoyak

Oleh: Nab Bahany As*

Berawal dari “Ikrar Lamteh” 1957. Sebuah ikrar kesepakatan damai pemberontakan DI/TII Aceh terhadap pemerintah Republik Indonesia. Dari hasil Ikral Lamteh, kemudian terbentuklah sebuah Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh (YDKA), yang tujuannya untuk fokus membangun kembali ketertinggalan Aceh dalam segala bidang selama konflik DI/TII, guna mengujutkan kesejateraan rakyat Aceh dalam arti seluas-luasnya.

Salah satu gagasan YDKA saat itu adalah membangun sebuah kampus Univesitas di Aceh, yang diberi nama “Kota Pelajar/Mahasiswa (Kopelma) Darussalam”. Saat Presiden Sukarno meresmikan kampus Kopelma Darussalam, 2 September 1959, saat itu baru berdiri sebuah SMA dan sebuah Fakultas Ekonomi sebagai embrio dari Universiatas Syiah Kuala.
Dalam peresmian Kopelma Darussalam itulah, Presiden Sukarno menulis sebuah prasasti penuh makna pada Tugu Kopelma Darussalam: “Tekat bulat melahirkan perbuatan njata, Darussalam menudju kepada pelaksanaan cita-cita”. Ungkapan Presiden Sukarno itu ditancapkan pada tugu Kopelma Darussalam, yang sampai sekarang masih menjadi saksi sejarah. Bahwa tugu Kopelma Darussalam itu tidak boleh diatasnamakan milik sebuah Universitas yang ada di dalamnya. Tugu itu milik bersama Kopelma Darussalam.

Dua tahun setelah Presiden Sukarno meresmikan Kopelma Darussalam, tanggal 21 Juni 1961, keluarlah Surat Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Republik Indonesia No. 11 Tahun 1961, sebagai dasar pembukaan Universitas Syiah Kuala di Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Maka, apa yang menjadi harapan dan cita-cita rakyat Aceh untuk mewujudkan sebuah Kampus Perguruan Tinggi, yang disimbulkan sebagai “Jantung hati rakyat Aceh” yang telah dirintis dengan susah payah, akhirnya menjadi kenyataan.

Namun, para tokoh pendidikan Aceh saat itu belum mersa puas. Kalau jantung hati Kopelma Darussalam itu tidak dilengkapi dengan Perguruan Tinggi Agama Islam di dalamnya. Sehingga para tokoh pendidikan dan pimpinan Aceh saat itu kembali berjuang untuk menghadirkan sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam, guna melengkapi kampus “Jantung Hati Rakyat Aceh” kala itu.

Perjuangan mereka tak sia-sia. Tahun 1963, Menteri Agama Republik Indonesia KH. Saifuddin Zuhri melalui Surat Keputusannya No. 89 Tahun 1963, meresmikan berdirinya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jami’ah Ar-Raniry dalam kampus Kopelma Darussalam. Dengan demikian, lengkaplah Kopelma Darussalam ini sebagai kampus “Jantung Hati Rakyat Aceh”.
Yang di dalamnya terdapat dua Perguruang Tinggi sekaligus untuk saling melengkapi, yaitu Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) sebagai perguruan tinggi umum, dan Perguruan Tinggi Agama Islam (IAIN Ar-Raniry), yang sekarang sudah jadi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Jami’ah Raniry. Dan ini adalah satu-satunya kampus Perguruan Tinggi terunik di Indonesia. Dalam satu kampus terdapat dua Perguruan Tinggi yang saling melengkapi, antara jantung kiri dan jantung kanan. Antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum dipertemukan dalam satu kampus itu. Begitu hebat cara berfikir tokoh-tokoh Aceh terdahulu.

Namun sayang, apa yang telah dirintis dan diperjuangkan dengan susah payah oleh tokoh-tokoh pemikir Aceh dulu. Kini dengan mudah diobrak-abrik oleh pikiran-pikiran yang tidak menghargai sejarahnya. Setelah merasa berhasil mengoyakkan Kopelma Darussalam dengan segala batasan-batasannya yang mirip konflik Jalur Gaza di Palestina. Kini giliran perubahan nama Universitas Syiah Kuala dari akronim Unsyiah dijadikan USK.

Sungguh sebuah perubahan nama yang mendistorsikan sejarah perjuangan apa yang telah dirintis oleh tokoh-tokoh Aceh terdahulu. Seakan-akan apa yang telah mereka buat dengan susah payah untuk diwariskan pada generasi hari ini, tak lagi kita hargai karena ambisi dan keegoan kita hari ini. Mengoyakkan sesuatu yang sudah melekat di hati rakyat memang lebih gampang dari pada merintis-mendirikan dan memelihara keutuhannya.

Untuk menghilangkan sejarah itu, alasannya bisa macam-macam, yang terkadang alasan yang dibuat itu sama sekali tidak masuk akal. Wacana perubahan nama Universitas Syiah Kuala memang sudah digelindingkan sejak tahun 2016 yang lalu. Tapi karena saat itu banyak menuai protes dari masyarakat, wacana itu terpaksa didiamkan oleh otoritas Universitas Syiah Kuala.

Kini nama Universitas tertua di Aceh—sebagai salah satu episode sejarah penting dalam perjalanan sejarah Aceh—kembali dikutak-tatik secara lebih radikal lagi oleh otoritas Unsyiah. Terhitung 1 Januari 2021, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) resmi diubah nama dari akronim Unsyiah menjadi USK. Alasannya, karena sebutan nama Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dianggap oleh orang luar adalah Universitas yang menganut aliran Syi’ah.
Alasan itu sebenarnya sangat tidak masuk di akal. Sebab, dalam usia Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang sudah berumur 60 tahun saat ini, kenapa baru dalam 5 tahun terakhir—di bawah kepemimpinan otoritas Unsyiah hari ini— baru muncul akronim “Syiah” dianggap sebagai “Syi’ah”? Sementara berpuluh-puluh tahun sebelumnya, nama Universitas Syiah Kuala dengan akronim Unsyiah-nya tidak menjadi persoalan. Semua program dan kegiatan akademik berjalan dengan baik.

Bahkan berbagai kerja sama Unsyiah dengan Universitas-Universitas luar negeri sebelumnya berjalan lancar. Tak ada persoalan pada nama “Syiah” adalah “Syi’ah”. Berbagai bantuan fisik dan pemajuan mutu terhadap Unsyiah mereka berikan dalam kerja sama itu. Kenapa dalam otoritas Unsyiah hari ini banyak sekali menimbulkan persoalan yang menyinggung hati rakyat Aceh.

Penabalan nama Syiah Kuala pada Universitas tertua di Aceh ini, bukan tidak punya alasan sejarah. Para pendiri Unsyiah dulu juga berdebat dalam soal pemberian nama untuk Universitas ini. Mereka memilih nama Syeikh Abdulrauf Syiah Kuala menjadi nama Universitas Syiah Kuala ini tidak dengan serta merta, tapi penuh kajian dan pertimbangan sejarah.

Syeikh Abdulrauf Syiah Kuala atau ada juga yang menyebutnya Abdulrauf as-Singkili, adalah ulama yang dianggap paling moderat dalam menyelesaikan konflik-konflik keagamaan yang terjadi di Aceh pada zamannya. Termasuk konflik serangan Nuruddin Ar-Raniry terhadap Wujudiyah Hamzah Fansuri yang sarat nuasa politis. Sampai Nuruddin Ar-Raniry memfatwakan halal darah bagi pembunuhan pengikut-pengikut ajaran Hamzah Fansuri. Begitu juga konflik pengangkatan kepemimpinan wanita (Sultanah) di kerajaan Aceh, yang menimbulkan gejolak keagamaan yang luar biasa. Tapi semua gejolak konflik keagamaan itu dapat diredam oleh Abdulrauf Syiah Kuala dengan tidak terjadi pertumpahan darah.

Itu sebabnya, mengapa kemudian nama Syeikh Abdulrauf Syiah Kuala menjadi pilihan untuk dilakapkan pada nama Universitas Syiah Kuala. Kenapa tidak dilakapkan Universitas Hamzah Fansuri, atau Universitas Hamzah Fansuri, Saymsuddin Sumatrani, atau Universitas Nuruddin Ar-Raniry. Karena secara filosofis, pemikiran Hamzah Fansuri terlalu berat untuk difahami masyarakat secara umum. Karena Hamzah Fansuri adalah ulama tasauf yang tingkat kesufiannya tak tertandingi di kawasan Asia Tenggara kala itu. Malah boleh dibilang, Fansuri adalah Ibnu Arabinya di Asia Tenggara.

Atas pertimbangan itu, kurang tepat kalau nama Hamzah Fansuri ditabalkan pada Universitas bersifat umum. Nama Hamzah Fansuri sebenarnya lebih cocok diabadikan pada IAIN pada awal pendiriannya di Aceh, yaitu IAIN Jami’ah Hamzah Fansuri. Ketimbang lakap IAIN Jami’ah Ar-Raniry. Masalahnya, Nuruddin Ar-Raniry bakan hanya karena beliau ulama asing di Aceh dari Ranir India, tapi juga Nuruddin Ar-Raniry dalam beberapa hal banyak meninggalkan catatan sejarah buram bagi kemerosotan perkembangan intelektual keagamaan di Aceh pada masanya.

Jadi kembali ke perubahan nama Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang kini telah diubah menjadi USK, dengan beberapa dalil alasan yang dikemukan, seperti penolakan KKN internasional bagi mahasiswa Unsyiah di Malaka, Malaysia Juni 2019 lalu. Dan pernyataan mantan Dekan Fakustas Teknik Unsyiah, yang katanya pernah diminta penjelasan di Brunei Darussalam terkait nama Unsyiah dianggap Universitas Syi’ah. Dalil itu sebenarnya tidak cukup dijadikan alasan yang membuat otoritas Unsyiah dengan tergesa-gesa langsung mengubah akronim Unsyiah jadi USK.
Dunia intelektual Malaysia dan Brunei dalam memahami sejarah Aceh—apa lagi nama ulama-ulama Aceh yang hidup abad 16-17—seperti Syeikh Abdulrauf Syiah Kuala, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, dan Nuruddin Ar-Raniry, adalah nama-nama ulama Aceh yang sudah sangat familiar di negeri-negeri Melayu Islam. Pemikiran para ulama ini terus menjadi kajian dunia akademik di Malaysia dan Brunei Darussalam, hingga Patani. Bahkan nama-nama ulama Aceh ini malah lebih terkenal di negeri mereka dari pada di Aceh sendiri.

Karena itu naif sekali bila itu yang dijadikan alasan dasar perubahan nama Unsyiah menjadi USK. Apa lagi kasus anggapan Unsyiah itu Universitas Syi’ah dimunculkan dalam tahun-tahun terakhir ini oleh otoritas Unsyiah. Ini ada apa sebenarnya? Yang pasti, jantung hati rakyat Aceh sekarang sedang dikoyak-koyak oleh ambisi otoritas kekuasaan Unsyiah.[]

Artikel ini sudah di muat di Portalsatu

*Budayawan, tinggal di Banda Aceh.

Izin saya menyimpan sebagai dokumen disini


Tiada ulasan:

Catat Ulasan