Isnin, 25 Januari 2021

Apa pentingnya kita pertahankan guru guru lama

Oleh: Ali Fauzi

Seorang teman bertanya, “Apa pentingnya kita mempertahankan guru-guru lama?” Tiba-tiba saya teringat kisah ini.

Seorang pria lanjut usia sedang duduk di sebuah kafe di Spanyol, sambil mencorat-coret selembar tisu bekas. Dia adalah orang yang cuek dan suka menggambar apa saja yang membuatnya terkesima. Seorang wanita yang duduk tidak jauh darinya sedang memandanginya dengan kagum.

Pria tersebut mengambil cangkir kopinya. Itu adalah seruputan terakhir. Dia pun meremas tisu tersebut dan hendak membuangnya saat akan meninggalkan kafe tersebut.

“Tunggu,” teriak wanita yang telah memandanginya sejak tadi.

“Boleh kan, saya meminta tisu yang barusan anda gambari? Saya akan bayar.”

“Tentu,” Jawab pria lanjut usia tersebut. “dua ratus delapan puluh juta.”

 Wanita tersebut kaget. “Apa? Anda hanya perlu sekitar dua menit untuk menggambar itu.”

“Tidak nyonya,” jawab pria tersebut. “Saya perlu lebih dari 60 tahun menggambar ini.” Dia memasukkan tisu tersebut dalam kantungnya, dan pergi meninggalkan kafe.

Pria lanjut usia tersebut adalah Pablo Picasso.

(Disarikan dari buku The Subtle Art of Not Giving A F*ck, Mark Manson)

__

“Apa pentingnya kita mempertahankan guru-guru lama?”

Saat itu, saya hanya menjawab, “Satu guru senior yang memaknai pengalaman mengajarnya dengan baik, bisa setara dengan tiga guru baru.”

“Penjelasannya?”, teman saya menimpali.

“Dalam mengajar; ada proses mengenali karakter siswa, mengelola kelas, mengatur irama belajar, membuat murid tertawa, mengatur waktu berdasarkan target kurikulum, menyelesaikan konflik antar guru dan antar siswa, menghadapi keinginan orangtua murid, dan ada proses transfer pengetahuan. Yang bisa ditandingi oleh guru baru hanyalah proses transfer pengetahuan. Selebihnya adalah buah dari pengalaman.”

“Kecuali guru lama yang benar-benar tidak mau belajar dari pengalaman, tidak mau mengikuti perubahan, dan tidak bersedia berubah. Meskipun begitu, rasa hormat harus kita berikan kepadanya karena telah mengikhlaskan waktunya untuk mendidik anak-anak kita.”

Dalam kisah Picasso di atas, wanita di sampingnya bisa sangat terpukau hanya dalam waktu dua menit, tentu saja karena ada proses panjang yang tidak diketahui wanita tersebut. Proses panjang 60 tahun lebih, tentu akan melahirkan keahlian. Ya, keahlian yang membuat orang lain mudah mudah mengaguminya.

Jika seseorang lebih baik daripada anda mengenai sesuatu hal, sepertinya itu karena dia telah mengalami kegagalan lebih banyak daripada anda. Jika seseorang lebih buruk daripada anda, sepertinya itu karena dia belum mengalami semua pengalaman belajar yang menyakitkan seperti yang anda rasakan.

Sudah dimuat: sejuta guru. Com dengan judul Selembar Tisu seharga 280.000.000

Ahad, 24 Januari 2021

Jantung Hati Yang Terkoyak

Oleh: Nab Bahany As*

Berawal dari “Ikrar Lamteh” 1957. Sebuah ikrar kesepakatan damai pemberontakan DI/TII Aceh terhadap pemerintah Republik Indonesia. Dari hasil Ikral Lamteh, kemudian terbentuklah sebuah Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh (YDKA), yang tujuannya untuk fokus membangun kembali ketertinggalan Aceh dalam segala bidang selama konflik DI/TII, guna mengujutkan kesejateraan rakyat Aceh dalam arti seluas-luasnya.

Salah satu gagasan YDKA saat itu adalah membangun sebuah kampus Univesitas di Aceh, yang diberi nama “Kota Pelajar/Mahasiswa (Kopelma) Darussalam”. Saat Presiden Sukarno meresmikan kampus Kopelma Darussalam, 2 September 1959, saat itu baru berdiri sebuah SMA dan sebuah Fakultas Ekonomi sebagai embrio dari Universiatas Syiah Kuala.
Dalam peresmian Kopelma Darussalam itulah, Presiden Sukarno menulis sebuah prasasti penuh makna pada Tugu Kopelma Darussalam: “Tekat bulat melahirkan perbuatan njata, Darussalam menudju kepada pelaksanaan cita-cita”. Ungkapan Presiden Sukarno itu ditancapkan pada tugu Kopelma Darussalam, yang sampai sekarang masih menjadi saksi sejarah. Bahwa tugu Kopelma Darussalam itu tidak boleh diatasnamakan milik sebuah Universitas yang ada di dalamnya. Tugu itu milik bersama Kopelma Darussalam.

Dua tahun setelah Presiden Sukarno meresmikan Kopelma Darussalam, tanggal 21 Juni 1961, keluarlah Surat Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Republik Indonesia No. 11 Tahun 1961, sebagai dasar pembukaan Universitas Syiah Kuala di Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Maka, apa yang menjadi harapan dan cita-cita rakyat Aceh untuk mewujudkan sebuah Kampus Perguruan Tinggi, yang disimbulkan sebagai “Jantung hati rakyat Aceh” yang telah dirintis dengan susah payah, akhirnya menjadi kenyataan.

Namun, para tokoh pendidikan Aceh saat itu belum mersa puas. Kalau jantung hati Kopelma Darussalam itu tidak dilengkapi dengan Perguruan Tinggi Agama Islam di dalamnya. Sehingga para tokoh pendidikan dan pimpinan Aceh saat itu kembali berjuang untuk menghadirkan sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam, guna melengkapi kampus “Jantung Hati Rakyat Aceh” kala itu.

Perjuangan mereka tak sia-sia. Tahun 1963, Menteri Agama Republik Indonesia KH. Saifuddin Zuhri melalui Surat Keputusannya No. 89 Tahun 1963, meresmikan berdirinya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jami’ah Ar-Raniry dalam kampus Kopelma Darussalam. Dengan demikian, lengkaplah Kopelma Darussalam ini sebagai kampus “Jantung Hati Rakyat Aceh”.
Yang di dalamnya terdapat dua Perguruang Tinggi sekaligus untuk saling melengkapi, yaitu Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) sebagai perguruan tinggi umum, dan Perguruan Tinggi Agama Islam (IAIN Ar-Raniry), yang sekarang sudah jadi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Jami’ah Raniry. Dan ini adalah satu-satunya kampus Perguruan Tinggi terunik di Indonesia. Dalam satu kampus terdapat dua Perguruan Tinggi yang saling melengkapi, antara jantung kiri dan jantung kanan. Antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum dipertemukan dalam satu kampus itu. Begitu hebat cara berfikir tokoh-tokoh Aceh terdahulu.

Namun sayang, apa yang telah dirintis dan diperjuangkan dengan susah payah oleh tokoh-tokoh pemikir Aceh dulu. Kini dengan mudah diobrak-abrik oleh pikiran-pikiran yang tidak menghargai sejarahnya. Setelah merasa berhasil mengoyakkan Kopelma Darussalam dengan segala batasan-batasannya yang mirip konflik Jalur Gaza di Palestina. Kini giliran perubahan nama Universitas Syiah Kuala dari akronim Unsyiah dijadikan USK.

Sungguh sebuah perubahan nama yang mendistorsikan sejarah perjuangan apa yang telah dirintis oleh tokoh-tokoh Aceh terdahulu. Seakan-akan apa yang telah mereka buat dengan susah payah untuk diwariskan pada generasi hari ini, tak lagi kita hargai karena ambisi dan keegoan kita hari ini. Mengoyakkan sesuatu yang sudah melekat di hati rakyat memang lebih gampang dari pada merintis-mendirikan dan memelihara keutuhannya.

Untuk menghilangkan sejarah itu, alasannya bisa macam-macam, yang terkadang alasan yang dibuat itu sama sekali tidak masuk akal. Wacana perubahan nama Universitas Syiah Kuala memang sudah digelindingkan sejak tahun 2016 yang lalu. Tapi karena saat itu banyak menuai protes dari masyarakat, wacana itu terpaksa didiamkan oleh otoritas Universitas Syiah Kuala.

Kini nama Universitas tertua di Aceh—sebagai salah satu episode sejarah penting dalam perjalanan sejarah Aceh—kembali dikutak-tatik secara lebih radikal lagi oleh otoritas Unsyiah. Terhitung 1 Januari 2021, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) resmi diubah nama dari akronim Unsyiah menjadi USK. Alasannya, karena sebutan nama Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dianggap oleh orang luar adalah Universitas yang menganut aliran Syi’ah.
Alasan itu sebenarnya sangat tidak masuk di akal. Sebab, dalam usia Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang sudah berumur 60 tahun saat ini, kenapa baru dalam 5 tahun terakhir—di bawah kepemimpinan otoritas Unsyiah hari ini— baru muncul akronim “Syiah” dianggap sebagai “Syi’ah”? Sementara berpuluh-puluh tahun sebelumnya, nama Universitas Syiah Kuala dengan akronim Unsyiah-nya tidak menjadi persoalan. Semua program dan kegiatan akademik berjalan dengan baik.

Bahkan berbagai kerja sama Unsyiah dengan Universitas-Universitas luar negeri sebelumnya berjalan lancar. Tak ada persoalan pada nama “Syiah” adalah “Syi’ah”. Berbagai bantuan fisik dan pemajuan mutu terhadap Unsyiah mereka berikan dalam kerja sama itu. Kenapa dalam otoritas Unsyiah hari ini banyak sekali menimbulkan persoalan yang menyinggung hati rakyat Aceh.

Penabalan nama Syiah Kuala pada Universitas tertua di Aceh ini, bukan tidak punya alasan sejarah. Para pendiri Unsyiah dulu juga berdebat dalam soal pemberian nama untuk Universitas ini. Mereka memilih nama Syeikh Abdulrauf Syiah Kuala menjadi nama Universitas Syiah Kuala ini tidak dengan serta merta, tapi penuh kajian dan pertimbangan sejarah.

Syeikh Abdulrauf Syiah Kuala atau ada juga yang menyebutnya Abdulrauf as-Singkili, adalah ulama yang dianggap paling moderat dalam menyelesaikan konflik-konflik keagamaan yang terjadi di Aceh pada zamannya. Termasuk konflik serangan Nuruddin Ar-Raniry terhadap Wujudiyah Hamzah Fansuri yang sarat nuasa politis. Sampai Nuruddin Ar-Raniry memfatwakan halal darah bagi pembunuhan pengikut-pengikut ajaran Hamzah Fansuri. Begitu juga konflik pengangkatan kepemimpinan wanita (Sultanah) di kerajaan Aceh, yang menimbulkan gejolak keagamaan yang luar biasa. Tapi semua gejolak konflik keagamaan itu dapat diredam oleh Abdulrauf Syiah Kuala dengan tidak terjadi pertumpahan darah.

Itu sebabnya, mengapa kemudian nama Syeikh Abdulrauf Syiah Kuala menjadi pilihan untuk dilakapkan pada nama Universitas Syiah Kuala. Kenapa tidak dilakapkan Universitas Hamzah Fansuri, atau Universitas Hamzah Fansuri, Saymsuddin Sumatrani, atau Universitas Nuruddin Ar-Raniry. Karena secara filosofis, pemikiran Hamzah Fansuri terlalu berat untuk difahami masyarakat secara umum. Karena Hamzah Fansuri adalah ulama tasauf yang tingkat kesufiannya tak tertandingi di kawasan Asia Tenggara kala itu. Malah boleh dibilang, Fansuri adalah Ibnu Arabinya di Asia Tenggara.

Atas pertimbangan itu, kurang tepat kalau nama Hamzah Fansuri ditabalkan pada Universitas bersifat umum. Nama Hamzah Fansuri sebenarnya lebih cocok diabadikan pada IAIN pada awal pendiriannya di Aceh, yaitu IAIN Jami’ah Hamzah Fansuri. Ketimbang lakap IAIN Jami’ah Ar-Raniry. Masalahnya, Nuruddin Ar-Raniry bakan hanya karena beliau ulama asing di Aceh dari Ranir India, tapi juga Nuruddin Ar-Raniry dalam beberapa hal banyak meninggalkan catatan sejarah buram bagi kemerosotan perkembangan intelektual keagamaan di Aceh pada masanya.

Jadi kembali ke perubahan nama Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang kini telah diubah menjadi USK, dengan beberapa dalil alasan yang dikemukan, seperti penolakan KKN internasional bagi mahasiswa Unsyiah di Malaka, Malaysia Juni 2019 lalu. Dan pernyataan mantan Dekan Fakustas Teknik Unsyiah, yang katanya pernah diminta penjelasan di Brunei Darussalam terkait nama Unsyiah dianggap Universitas Syi’ah. Dalil itu sebenarnya tidak cukup dijadikan alasan yang membuat otoritas Unsyiah dengan tergesa-gesa langsung mengubah akronim Unsyiah jadi USK.
Dunia intelektual Malaysia dan Brunei dalam memahami sejarah Aceh—apa lagi nama ulama-ulama Aceh yang hidup abad 16-17—seperti Syeikh Abdulrauf Syiah Kuala, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, dan Nuruddin Ar-Raniry, adalah nama-nama ulama Aceh yang sudah sangat familiar di negeri-negeri Melayu Islam. Pemikiran para ulama ini terus menjadi kajian dunia akademik di Malaysia dan Brunei Darussalam, hingga Patani. Bahkan nama-nama ulama Aceh ini malah lebih terkenal di negeri mereka dari pada di Aceh sendiri.

Karena itu naif sekali bila itu yang dijadikan alasan dasar perubahan nama Unsyiah menjadi USK. Apa lagi kasus anggapan Unsyiah itu Universitas Syi’ah dimunculkan dalam tahun-tahun terakhir ini oleh otoritas Unsyiah. Ini ada apa sebenarnya? Yang pasti, jantung hati rakyat Aceh sekarang sedang dikoyak-koyak oleh ambisi otoritas kekuasaan Unsyiah.[]

Artikel ini sudah di muat di Portalsatu

*Budayawan, tinggal di Banda Aceh.

Izin saya menyimpan sebagai dokumen disini


Selasa, 19 Januari 2021

PANGGILAN ORANG ACEH TERDAHULU KEPADA SESAMANYA

Oleh : Tarmizi Abdul Hamid (Disunting kembali dari Dokumen Aceh, Adat dan Islam)
1. Panggilan untuk Bapaknya : 
Ayah,Yah, Abu, Abi, Bapak, Pak, Waled, Tu, Du, Ku, Popo, Ayahanda dan Cut Ayah* 
2. Panggilan Untuk Ibunya : Mak, Nyak, Ma, Ummi, Mi, Ibu, Mu dan Mami
3. Untuk Abangnya :
Abang, Bang, Cut Bang, Cut Abang, Cut Lem, Lem, Polem dan Dalem. 
4. Panggilan Untuk Kakaknya :
Kak, Akak, Cut Kak, Cut Nyak, Cut Da, Nyak Yek, Cut Rayek, Cut Po dan Cut Anda. 
5. Panggilan Untuk Anak :
Aneuk, Neuk, Neuneuk, Si Nyak atau disebut jenis kelaminnya, Gam  Siagam,  Agam (ketiga-tiganya dipanggil untuk anak laki-laki) 
6. Abang Dari Ayah atau Dari Ibu :
a. Yang Laki-laki dipanggil : 
Ayahwa, Yahwa, Ayah Rayeuk, Apa Rayeuk. 
b. Yang Perempuan dipanggil : 
Wa, Makwa, Cutwa, Ma Yek, Nyak Wa, Nyak Rayeuk. 
7. Adik dari Ayah atau dari Ibu
a. Yang Laki-laki dipanggil :
Ayah Cut, Ayah Cek, Apa, Cut Apa, Ayah Muda, Ayah Teungoh, Ayah Ngoh, Ayah Mu, dan Ayah Muda. 
b. Yang Perempuan dipanggil :
Ma Cut, Mu Cut, Mak Cek, Cut Mak, Mak Muda, Teh, Cut Teh, dan Ma Teh. 
8. Panggilan Untuk Adik :
Adek, Dek, atau disebutkan namanya, Adek Gam (adik laki-laki), Adek Nong atau Adek Inong, (adik perempuan) 
9. Panggilan Suami Dari Kakak :
Teumuda, Cut Bang, Cut Abang, Teuku Muda, dan Teuku Abang. 
10. Panggilan Isteri dari Abang :
Teumuda, Cut Kak, Kak, Cut Yek, 
11. Panggilan Suami dari Cutwa :
Ayah Wa, Ayah Rayeuk, 
12. Panggilan untuk Isteri dari Ayah Wa :
Wa, Cut Wa, Ma Rayeuk dan Mak Wa
13. Panggilan untuk Isteri dari Adik Ayah atau Adik Ibu :
Mak Cut, Mak Cek, Mu Cut, Mak Dek, Mak dan Muda. 
14. Panggilan untuk Ayah Tiri (du pacuen): 
Ayah Muda. 
15. Panggilan untuk Ibu Tiri :
Mak Muda
16. Panggilan untuk Nenek laki-laki :
Nek, Ayah Nek, Ayah Chiek, Ku Chiek, Nek Abu, Mu Chiek, Abu Chiek, Yah Chiek dan Datok. 
17. Panggilan untuk Ayah dari Nenek laki-laki atau dari Nenek Perempuan :
Nek Tu, Ja, Kuja dan Ku Chiek. 
18. Panggilan untuk Nenek Perempuan : 
Nek, Mak Nek, Doong, Nek Nyak dan Ma Nek. 
19. Panggilan untuk Kakak dari Nenek :
Nek Wa, dan Nek Rayeuk. 
20. Panggilan Untuk Ulama atau Teungku Imum Meunasah :
Teungku, atau Teungku Imum. 
21. Panggilan Untuk Ulama Besar :
Teungku Nyang Guree', Teungku atau Teungku Chiek. 
22. Panggilan Untuk Keuchiek atau Imum Mukim :
Teuku Keuchiek, Teuku Imum Mukim, kalau usianya lebih muda dari pemanggil ; Nyak Keuchiek, atau Nyak Imum Mukim. 
23. Panggilan Untuk Ulee'balang, keujreun (chiek), panggilan sagoe, Ulee'balang po teu :
Teuku, Teuku Ampon, Teungkupo, (di Pidie), Teukupo, Po, atau Teuku Nyak, (kalau usianya lebih muda dari yang dipanggil) 
24. Dalam perkembangan selanjutnya untuk panggilan Keujreun Chiek dipanggil Ampon Chiek, dahulu untuk Ulee'balang pernah juga dipanggil Teuku Ulee'balang, Teuku Nyang Ulee'balang ulontuan. 
25. Panggilan Untuk Sultan Aceh :
Deelat, atau Deelat Tuanku, 
26. Panggilan Untuk Pocut dan Meurah :
Pocut, Cut, Cut Meurah, Pocut Ampon. 
27. Panggilan untuk anak perempuan Ulee'balang Keujreun Chiek, Panglima Sagoe dan Ulee'balang Po Teu :
Cut, Cut Nyak, dan Pocut (di Wilayah Pidie) 
28. Panggilan anak perempuan dari Pocut dan Meurah :
Cut, Meurah dan Cut Meurah. 
29. Panggilan untuk anak lelaki Ulee'balang : Teuku
30. Panggilan Untuk anak lelaki Sultan Aceh :
Tuanku (Derjat kebangsaan dari seorang Tuanku adalah tertinggi) 
31. Panggilan Untuk anak perempuan dari Sultan Aceh :
Teungku, sedangkan untuk isteri Sultan dipanggil Putroe atau Teungku Putroe. 
32. Panggilan untuk anak perempuan dari orang keturunan Arab, terdapat di Kampung Planggahan (Banda Aceh sekarang) adalah ; Siti
33. Panggilan untuk anak laki-laki dari seorang keturunan Said :
Teungku Yed, Sayed, namun kemudian atas anjuran Said Abdurrahman  Elzahir anak laki-laki ketketurunan Sayed ada yang populer dipanggil dengan Habib.
34. Panggilan untuk anak perempuan dari seorang keturunan Said :
Syarifah, Aja, Cut Aja dan Cut Pah. 
35. Panggilan untuk gelaran anak laki-laki yang Ayahnya berketurunan Arab, tetapi ibunya turunan Said :
Said atau Habib, sedangkan untuk perempuan :
Wan, Wanti dan Cut Wan 
36. Panggilan untuk Nyak adalah ; sebagai panggilan kasih sayang dan penghormatan istimewa terhadap orang yang dipanggil
37. Panggilan Teungku atau Teuku selain panggilan gelar dari Ulama dan Ulee'balang, bentuk sebuah penghormatan bagi sesama orang Aceh untuk yang di panggil belum dikenal namanya atau dekat.
Semoga bermanfaat untuk mengenal identitas diri orang Aceh baik sekarang maupun yang akan datang. (Tamat) 
sumber : Dokumen Aceh, Islam dan Adat Aceh, disunting kembali oleh :Tarmizi Abdul Hamid
Sumber Dok. Aceh. Disalin oleh Tarmizi Hamid, Karyawan BPTP Aceh, Budayawan Aceh👍

Isnin, 18 Januari 2021

Mengenang 25 Tahun Tenggelamnya KMP GURITA

Mengenang 25 Tahun Tenggelamnya KMP Gurita

Oleh
redaksi acehjurnal.com 19 Januari 2021
Banda Aceh | 19 Januari menjadi momen sejarah tak terlupakan bagi seluruh masyarakat Aceh. Selain masih dibalut konflik bersenjata, ada satu kisah duka yang masih membekas di hati masyarakat Aceh, yakni tenggelamnya KMP Gurita. Dari catatan sejarah menyebutkan, KMP Gurita tenggelam saat berlayar dari Pelabuhan Malahayati, Kabupaten Aceh Besar menuju Balohan, Sabang. Peristiwa tragis itu terjadi pada Jumat, 19 Januari 1996 lalu.

Kronologisnya, kapal feri rakitan Jepang macet sebanyak 378 penumang. Padahal, jumlah tersebut melebihi kapasitas sebenarnya. Karena daya tampung kapal hanya 210 orang.

Dari catatan Wikipedia, sebanyak 378 penumpang yang terdiri dari 282 warga Sabang, 200-an warga luar Sabang dan 16 warga negara asing (WNA). Dari catatan sejarah, kebanyakan penumpang yang menghapusang kesana diketahui ilegal.

Tak hanya itu, kapal tersebut dikabarkan juga mengangkut barangnya mencapai 50 ton. Rinciannya adalah 10 ton semen, 8 ton bahan bakar dan 15 ton tiang beton listrik.

Belum lagi dengan 12 unit mobil dan 16 unit sepeda motor. Ditambah lagi bahan - bahan kebutuhan masyarakat Sabang.

KMP Gurita diketahui mulai berlayar membelah laut Sabang sekira pukul 18.45 WIB. Saat berangkat, semua penumpang tidak bisa masuk ke blog yang usianya sudah lumayan tua. Penumpang yang warga asli Sabang tersebut mudik ke kampung halaman untuk menyambut hari Meugang dan Puasa Pertama yang jatuh pada 22 Januari 1996.

Rencana awal, KMP Gurita seharusnya tiba di pelabuhan Balohan sekira pukul 21.00 WIB. Menurut saksi, kapal itu terlihat memang kelebihan muatan. Belakangan diketahui, kapal tersebut tenggelam antara 5-6 juta dari Perairan Teluk Balohan, Sabang. Akibatnya, dari total 378 penumpang, 40 orang dilaporkan selamat, 54 orang meninggal dunia serta 284 orang dinyatakan hilang.

Hingga saat ini, bangkai KMP Gurita masih berada di dasar laut. Hari ini, Selasa (19/1/2021), kisah pilu sudah berusia 25 tahun. []
Banda Aceh | 19 Januari menjadi momen sejarah tak terlupakan bagi seluruh masyarakat Aceh. Selain masih dibalut konflik bersenjata, ada satu kisah duka yang masih membekas di hati masyarakat Aceh, yakni tenggelamnya KMP Gurita. Dari catatan sejarah menyebutkan, KMP Gurita tenggelam saat berlayar dari Pelabuhan Malahayati, Kabupaten Aceh Besar menuju Balohan, Sabang. Peristiwa tragis itu terjadi pada Jumat, 19 Januari 1996 lalu.

Kronologisnya, kapal feri rakitan Jepang macet sebanyak 378 penumang. Padahal, jumlah tersebut melebihi kapasitas sebenarnya. Karena daya tampung kapal hanya 210 orang.

Dari catatan Wikipedia, sebanyak 378 penumpang yang terdiri dari 282 warga Sabang, 200-an warga luar Sabang dan 16 warga negara asing (WNA). Dari catatan sejarah, kebanyakan penumpang yang menghapusang kesana diketahui ilegal.

Tak hanya itu, kapal tersebut dikabarkan juga mengangkut barangnya mencapai 50 ton. Rinciannya adalah 10 ton semen, 8 ton bahan bakar dan 15 ton tiang beton listrik.

Belum lagi dengan 12 unit mobil dan 16 unit sepeda motor. Ditambah lagi bahan - bahan kebutuhan masyarakat Sabang.

KMP Gurita diketahui mulai berlayar membelah laut Sabang sekira pukul 18.45 WIB. Saat berangkat, semua penumpang tidak bisa masuk ke blog yang usianya sudah lumayan tua. Penumpang yang warga asli Sabang tersebut mudik ke kampung halaman untuk menyambut hari Meugang dan Puasa Pertama yang jatuh pada 22 Januari 1996.

Rencana awal, KMP Gurita seharusnya tiba di pelabuhan Balohan sekira pukul 21.00 WIB. Menurut saksi, kapal itu terlihat memang kelebihan muatan. Belakangan diketahui, kapal tersebut tenggelam antara 5-6 juta dari Perairan Teluk Balohan, Sabang. Akibatnya, dari total 378 penumpang, 40 orang dilaporkan selamat, 54 orang meninggal dunia serta 284 orang dinyatakan hilang.

Hingga saat ini, bangkai KMP Gurita masih berada di dasar laut. Hari ini, Selasa (19/1/2021), kisah pilu sudah berusia 25 tahun. []

Oleh
redaksi acehjurnal.com 19 Januari 2021
Banda Aceh | 19 Januari menjadi momen sejarah tak terlupakan bagi seluruh masyarakat Aceh. Selain masih dibalut konflik bersenjata, ada satu kisah duka yang masih membekas di hati masyarakat Aceh, yakni tenggelamnya KMP Gurita. Dari catatan sejarah menyebutkan, KMP Gurita tenggelam saat berlayar dari Pelabuhan Malahayati, Kabupaten Aceh Besar menuju Balohan, Sabang. Peristiwa tragis itu terjadi pada Jumat, 19 Januari 1996 lalu.

Kronologisnya, kapal feri rakitan Jepang macet sebanyak 378 penumang. Padahal, jumlah tersebut melebihi kapasitas sebenarnya. Karena daya tampung kapal hanya 210 orang.

Dari catatan Wikipedia, sebanyak 378 penumpang yang terdiri dari 282 warga Sabang, 200-an warga luar Sabang dan 16 warga negara asing (WNA). Dari catatan sejarah, kebanyakan penumpang yang menghapusang kesana diketahui ilegal.

Tak hanya itu, kapal tersebut dikabarkan juga mengangkut barangnya mencapai 50 ton. Rinciannya adalah 10 ton semen, 8 ton bahan bakar dan 15 ton tiang beton listrik.

Belum lagi dengan 12 unit mobil dan 16 unit sepeda motor. Ditambah lagi bahan - bahan kebutuhan masyarakat Sabang.

KMP Gurita diketahui mulai berlayar membelah laut Sabang sekira pukul 18.45 WIB. Saat berangkat, semua penumpang tidak bisa masuk ke blog yang usianya sudah lumayan tua. Penumpang yang warga asli Sabang tersebut mudik ke kampung halaman untuk menyambut hari Meugang dan Puasa Pertama yang jatuh pada 22 Januari 1996.

Rencana awal, KMP Gurita seharusnya tiba di pelabuhan Balohan sekira pukul 21.00 WIB. Menurut saksi, kapal itu terlihat memang kelebihan muatan. Belakangan diketahui, kapal tersebut tenggelam antara 5-6 juta dari Perairan Teluk Balohan, Sabang. Akibatnya, dari total 378 penumpang, 40 orang dilaporkan selamat, 54 orang meninggal dunia serta 284 orang dinyatakan hilang.

Hingga saat ini, bangkai KMP Gurita masih berada di dasar laut. Hari ini, Selasa (19/1/2021), kisah pilu sudah berusia 25 tahun. []

Sudah di muat oleh acehjurnal.com 19 Januari 2021
Judul Mengenang 25 Tahun Tenggelamnya KMP Gurita