E-Raport SISTEM APAAN, HUFFT
Seorang teman mengeluhkan sistem pendidikan yang serba digital, menyulitkan katanya, salahsatunya pengisian raport secara digital yang juga nanti terkait dengan sistem pengambilan keputusan secara nasional dampaknya. Misalnya ketika siswa tidak tuntas, atau layak tinggal kelas, demi menyelamatkan sekolah agar tidak kekurangan kelas, maka anak tersebut "harus" naik kelas.
Perlu pemirsa ketahui bahwa standar kelas di SMA itu antara 20 s.d 36 siswa per kelas. Jika ada kelas yang kekurangan siswa ntah krn tidak sekolah lagi atau tinggal kelas, maka sistem akan menolak kelas yang kurang 20, mau tidak mau harus di-merger kelas tersebut kecuali emang kelas tunggal yang tidak punya pilihan. Akibatnya seperti di sekolah kami, banyak siswa yang putus sekolah, saat tahun ajaran baru mengerucut, misal dulu 4 kelas saat tingkat dua, bisa jadi jadi 3 kelas saat kelas tiga.
Dampaknya luas, jika satu kelas hilang maka akan ada setidaknya minimal 44 jam hilang. Beberapa guru akan kehilangan jam minimal mengajar yang seharusnya 24 jam per minggu. Bagi guru yang sudah "bersertifikasi", kekurangan 24 jam ancaman besar, karena dasar pembayaran tunjangan profesi berdasarkan sistem digital harus terpapar minimal 24 jam mengajar, jika kurang dari itu, maka hilanglah tunjangan profesi setidaknya 6 bulan. Weww, bisa hilang pendapatan minimal 15juta. Tunjangan profesi emang primadona bagi kami guru, meski sy daridulu tidak setuju profesional guru diberi dalam bentuk tunjangan (tulisan ttg tunjangan profesi di lain waktu aja, biar sy fokus cerita sistem e-raport 😁).
Kawan sy lanjut mengeluh
"Cobalah pak Khai lihat, demi menyelematkan kelas, kita kejar anak2 yg belum ikut ujian, nilainya kita dongkrak agar lewati batas minimum sehingga naik kelas. Mereka jadi buruk akhlak, kita tidak peduli yang penting kelas tercukupi agar kita tidak perlu ngajar ke luar demi 24 jam. Kok kayak kita yg butuh mereka, harusnya siswa yang butuh kita"
Pelan sy tanya "trus salah siapa ?"
Lantang kawan menjawab, "Ya pemerintahlah, mendikbud, ntah apa2 sistem dibuat, bukan memudahkan tp menyesatkan"
Semua yg disampaikan teman sy tidak keliru, begitulah terkadang kami harus mengejar dan mengancam siswa agar mengikuti ujian. Kehadiran ujian lebih menentukan ketimbang nilai yang diperoleh. Tapi konteksnya sudah tidak tepat jika terus mengeluh. Sy menjelaskan seperti ini
"Sebenarnya kita tidak memahami sistem secara utuh. Sy paham sistem selalu punya celah. Peraturan menteri ada yang tidak diakomodir di sistem digital pendidikan. E-raport sejatinya memudahkan, bayangkan dulu sebagai wali kelas kita nulis raport berhari-hari, bentar2 harus typo, input angka gak mudah, butuh jeli, tulisan harus bagus, bisa saja nulis 0 dibaca 8. Kini kita tunggu jaringan tidak lelet, sambil nunggu bisa berWA 😁, input nilai tersimpan, meski sy masih tidak setuju raport di-print, banyak makan kertas. Ke depan Raport kirim aja ke whatsapp masing2 siswa, hemat kertas bisa beli seragam siswa
Nah mengenai anak2 yang harus dikejar, sebenarnya sistem digital yang dibuat harusnya kita yang sesuaikan bukan justru sistem menyesuaikan kita. Maksud sy gini, sistem menuntut siswa tuntas per KD bukan saat ujian semester, artinya tumbuhkan kesadaran siswa untuk menuntaskan KD, gak mesti ujian tulis, boleh penugasan yang progressnya terlihat dia layak dituntaskan.
Jangan jahat sama siswa, mereka berproses, kl kita terus menekan mereka putus asa dan nakal. Kita membimbing. Tugas wajib dikerjakan namun beri kesadaran kenapa harus mengerjakan, itu nilai karakter. Kita emang harus pertahankan siswa sekolah, karena sekolah bukan arena tinju, kalah pulang. Tp arena membangun dan mendidik, ya harus bertahan, nakal sekalipun harus berakhlak baik di sekolah, bodoh sekalipun harus pintar di sekolah. Malas sekalipun harus punya kesadaran untuk rajin di sekolah. Sefrekuensilah dengan siswa, rasakan bahwa mereka datang tulus ke sekolah memperbaiki diri, kecuali pelanggaran fatal yang buat mereka emang tidak cocok di sekolah ini. Kl sekedar usil, suka ribut, malas, bodoh, suka marah, itu mah tugas kita guru benahi. Kita paham sistem, ya kita yang berperan atas sistem itu, bukan justru rela dipermainkan siswa krn mereka paham celah sistem 😁.
Sy sendiri lebih senang beri penilaian siswa saat proses belajar sehari-hari, kl ulangan atau ujian, sy sudah paham kemampuan mereka, berharap apa dari nilai itu ?".
So, sistem digital pendidikan ? Nikmati saja, sikapi dengan terbuka, toh mau balik ke zaman nulis raport pake tangan juga kagak ada lagi
Matangkuli, 21 Juni 2019
Tiada ulasan:
Catat Ulasan