Sabtu, 11 Mei 2019

PELAYANAN UMUM DI NANGGROE GOB

Diceritakan kembali oleh Rusdi Ali di laman FB geusyik Amin.

Pelayanan umum di sebuah negara seperti gas, listrik dan air sering kali dilihat sebagai salah satu indikator keberhasilan perekonomian. Adeltus Lolok yang pernah mengenyam pendidikan S2 di Adelaide (Australia Selatan) menceritakan salah satu pengalaman pribadi berkenaan dengan hal ini. Adeltus yang kini jadi pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian Keuangan di Jakarta, menuliskan pengalamannya tentang pelayanan umum itu di Radio Australia. PAGI itu, seperti biasa saya sedang membantu istri mempersiapkan anak saya yang akan berangkat ke sekolah. Jemputan gratis dari sekolah yang berjarak hanya 1,7 km dari rumah kami akan datang beberapa menit lagi. Tiba-tiba terdengar ketukan yang cukup tegas di pintu depan.   Saat membuka pintu, di depan saya berdiri seorang pria setengah baya yang dengan hormat menyapa, “Selamat pagi pak. Kami mohon maaf sekali. Ada sedikit masalah dengan saluran air ke kompleks ini.”   Rumah kami memang terletak di sebuah kompleks kecil dengan 7 rumah lainnya dengan hanya satu gerbang sebagai pintu keluar masuk.  “Okay…lalu bagaimana..,” saya masih bingung untuk menanggapinya. Kalau ada masalah dengan air, lha kan tinggal dikerjain. Kenapa mesti memberitahu saya, pikirku.

Iya pak, mohon maaf karena kami akan memutus air kira-kira setengah hari. Kami juga akan menggali lubang cukup besar di gerbang sehingga Anda mungkin akan kesulitan mengeluarkan mobil. Bapak silahkan parkir mobilnya di luar saja supaya lebih mudah jika ingin bepergian,” jelas si petugas PAM.   Saya mulai kagum dan sedikit terpana. Kok sampai seperti itu dipikirkan ya.   Belum sempat saya menjawab, ia menyambung lagi, “Sepertinya Anda sedang repot. Saya bisa bantu memarkirkan mobil jika Anda mau.”   “Oh, terima kasih. Saya akan parkir sendiri.” Saya pun bergegas ke garasi yang digunakan bersama oleh ke-delapan rumah di kompleks tersebut. Si petugas PAM tadi lalu mengetuk pintu rumah berikutnya. Sayup-sayup saya mendengar percakapan yang sama.   Saat saya mengeluarkan mobil ke jalan raya, sejumlah petugas PAM beserta kendaraan dan peralatan khusus sudah siap bekerja. Mereka menyapa dengan ramah dan  membantu menghalangi kendaraan lain supaya saya bisa memarkir mobil saya di sisi jalan raya yang mulai ramai.   Karena sudah diberitahu akan ada pemutusan aliran air, kami segera mengisi wadah-wadah yang ada sebanyak mungkin. “Hebat ya, Pak. Mau mutusin air setengah hari aja pakai lapor dulu ke warga. Biasanya mah, main putus aja berhari-hari tanpa informasi,” kata istri saya yang rupanya juga terkesan dengan apa yang terjadi.   “Lha, yang biasanya itu, dimana…,” candaku sambil mengantar anak ke mobil jemputan yang sudah menunggu.

Setengah harian itu, air memang mati. Sebelum jam sebelas, air sudah jalan kembali. Iseng-iseng saya cek keluar, para petugas PAM sudah tidak ada. Bekas galian mereka pun sudah kembali rapi. Mereka sepertinya berusaha juga menanam kembali rumput-rumput yang tadinya tercabut. Ketika saya menceritakan kisah itu ke teman-teman yang lain, mereka tersenyum mahfum.   “Ya, maklum mas baru datang sih jadi masih heran. Kalau di sini mah, urusan pelayanan umum kayak air, listrik, kendaraan umum, pendidikan...itu gak boleh ada cacat. Pemerintah Australia selalu merasa malu jika tidak bisa melayani warganya dengan baik,” kata Joko, si ahli akuntansi dari Kementerian Keuangan yang sedang kuliah di University of Adelaide.   “Lha, kemarin saja bis terlambat 15 menit dari biasanya, semua penumpang digratiskan,” timpal Amelia, si kutu buku asal Bandung yang kuliah di kampus yang sama. “Tuh, lihat si oma naik kursi roda, santai aja menyeberang karena memang jalan disiapkan juga untuk orang cacat sekalipun.”

Tiada ulasan:

Catat Ulasan