Jakarta - Industri 4.0 yang erat kaitannya dengan digitalisasi sudah menanti di depan mata. Era ini menjadi tantangan bagi tenaga kerja Indonesia agar tak tersingkir dari persaingan dengan sistem kerja yang semakin efisien.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah akan merombak kurikulum pendidikan dengan mengubah proporsi pendidikan antara di lapangan dan di dalam kelas. Tujuannya agar angkatan kerja yang diproduksi oleh lembaga/instansi pendidikan di Indonesia siap menghadapi pasar tenaga kerja di masa mendatang.
"Pendidikan umum juga harus dapat perhatian khusus; tidak hanya vokasi, karena meskipun kurikulumnya berubah, tetapi memang harus ada perubahan yang lebih masif. Dalam artian, sekarang kita harus benar-benar melihat apa yang jadi kebutuhan pasar," katanya saat berbincang dengan detikFinance di kantornya, Rabu (10/4) lalu.
"Karena itu kebutuhan pasar sekarang. Dengan digitalisasi, industri 4.0, penguasaan akan bidang ini menjadi harus. Sehingga kita butuh orang-orang yang tidak hanya lulus dari bidang ini tapi juga punya kemampuan," katanya.
Begitu pula di bidang vokasi. Dia bilang sering kali terjadi ketidakcocokan bidang yang disiapkan sekolah vokasi dengan kebutuhan pasar.
"Artinya banyak pendidikan vokasi yang menjalankan kegiatan rutin seperti jurusan pada umumnya yang sudah dilakukan bertahun-tahun yang lalu. Sudah lama, mereka jurusannya itu-itu saja. Padahal untuk menyambut industri 4.0, mungkin SMK sudah harus mengajarkan graphic design. Tapi dia masih berkutat di bangunan misalnya," kata Bambang.
Dari sisi fasilitas, sekolah-sekolah vokasi di Indonesia juga perlu meningkatkan dan memperbarui ketersediaan alatnya mengikuti perkembangan zaman. Sementara dari konten kurikulumnya, dia ingin sekolah lebih banyak mengaplikasikan kemampuan siswa di lapangan.
"Jadi, kita bicara komposisinya, mungkin kita harus perbanyak internship atau magang. Bahkan kalau di Jerman, 1 semester di sekolah, 1 semester di pabrik. Dan yang magang, bukan hanya muridnya, gurunya juga.
"Dan kalau pun magang, dia nggak bisa cuma magang tapi nggak ada supervisornya. Perusahaan tempat magang harus punya semacam pembimbing atau supervisor untuk cek apakah anak ini sudah ikuti program pendidikan dengan benar. Sekarang ini kurikulumnya belum sampai ke sana. Magang ada, tapi tidak ideal. Dan kita juga harus mendorong partisipasi swasta," tambahnya.
Sumber. Eduardo Simorangkir - detikFinance
Tiada ulasan:
Catat Ulasan