Rabu, 20 Mei 2020

Nasihat Buyung Kepada Seorang Guru


Nasehat Buyung Kepada Seorang Guru
Oleh. Sri Waluyo
"Saya adalah salah satu dari banyak orang yang anti pemikiran bahwa semakin mahal biaya sekolah anakmu berarti semakin sedikit tugasmu memperhatikan dan mendidik mereka", Buyung mulai membuka percakapan malam tadi.

"Kau keliru, jika kau pikir dengan uang sebanyak itu tugasmu bisa kau alihkan ke sekolah-sekolah mahal itu", tambahnya.

"Tetapi memang terbukti, kok, anak-anak di sekolah mahal itu pintar-pintar. Jauh lebih cepat perkembangannya. Masih TK, pengetahuannya sudah seperti anak SD." saya mencoba membela sedikit

"Justru di situlah kelirunya, menurutku, Anak-anak bukan komputer, bukan mesin yang bisa dipaksa dan di-upgrade".

"Mereka insan, makhluk manis ciptaan Tuhan yang butuh waktu dan ruang. Biarkan mereka nikmati waktunya saat menjadi putik, kelopak, hingga kelak merekah dan mewangi sempurna. Semua ada masa dan tahapnya". kalimatnya terus meluncur

"Jauh lebih penting daripada menjadi pintar, "sukses", kaya, atau ternama, harapan terbesar kami adalah anak-anak ini kelak bahagia dengan kehidupannya, bagaimanapun cara mereka menjalaninya, terlepas dari seberapa besar/kecil asetnya, seberapa "tinggi/rendah" kedudukanya".

"Nah, pelajaran cara menjalani kehidupan dengan rasa bahagia ini yang setahuku tak ada di sekolah mana pun.
Maaf jika aku keliru", semakin lancar pembicaraanya.

"Jadi, saat tadi kubilang, "apa yang mereka bisa", itu bukan soal akademik, ya tapi Ini lebih kepada perjuangan seorang ayah mencuri hati utk menjadi cinta pertama putrinya, dan perjuangan seorang ibu utk menjadi cinta pertama anak-anaknya", paham bro?. saya hanya mengangguk.

"Lah, apa hubungannya? Hanya saat berjuang mencuri hati dan mendapatkan cintalah seseorang bisa mengeluarkan segenap yang terbaik dari dirinya.
Jika kau niatkan dirimu menjadi cinta pertama anakmu, selesai sudah. Apa lagi yang lebih baik daripada tumbuh dalam cinta?"

"Aku khawatir kita terlalu fokus mengajari mereka meraih banyak hal, tapi lupa mendidiknya untuk berbahagia dengan apa yang didapat. Kita latih mereka untuk "menaklukkan" kehidupan, jangan sampai kalah dengan yang lain, padahal yang paling penting bagaimana bisa berdamai dengan kehidupan itu", buyung mengakhiri pembicaraannya, dan saya hanya diam.

"Eh, tapi entah pula kalau tujuan kita terkait anak memang berbeda, ya. Kalau demikian, saya mohon maaf". swy
Nasihat Buyung kepada seorang guru kampung.
Paya Tumpi Baru, 21.05.20, swy


Jumaat, 1 Mei 2020

Tak Ada yang Abadi

Aktor terkenal yang juga mantan gubernur California Arnold Schwarzenegger menghebohkan jagad sosial media setelah mengunggah foto dirinya yang sedang tidur di jalan di bawah patung perunggu dirinya di luar hotel, dan menulis dengan sedih, 
'How times changed' ("Bagaimana waktu berubah").

Melalui foto tersebut, dia menyampaikan sebuah pesan bahwa penghormatan orang terhadap Anda berubah seiring berjalannya waktu.

Alasan dia menuliskan kalimat tersebut bukan karena dia tua, tapi karena ketika dia jadi gubernur California meresmikan hotel tersebut dengan patung perunggu dirinya di depan hotel tersebut. Pihak hotel menyampaikan ke Arnold "Setiap saat Anda boleh datang dan ada kamar untuk Anda yang selalu tersedia". Namun ketika Arnold sudah tidak menjabat gubernur lagi dan datang ke hotel tersebut, pihak hotel menolaknya dengan alasan bahwa kamar hotel sudah penuh.

Dia lalu membawa kantong tidur dan tidur di bawah patung dirinya dan berharap orang bisa mengambil pelajaran dari kejadian tersebut.

Arnold dengan kekayaannya bisa membeli hotel yang dia inginkan, tapi dia ingin menyampaikan pesan kepada orang-orang melalui tindakannya.

Dia memposting foto tersebut di media sosial, dia menyampaikan sebuah pesan bahwa ""ketika dia berada dalam posisi yang kuat, semua orang termasuk manajemen hotel memuji dia, namun saat dia kehilangan posisinya sekarang, mereka dengan mudah melupakan janji mereka kepadanya"".

'How times changed'
Ya waktu terus berubah.
Jangan percaya pada semua atribut duniawi : jabatan anda, harta benda anda, atau kekuasaan atau kecerdasaan anda. Semua itu tidak ada yang abadi. 
Kecuali kehidupan setelah kematian.

Halua Bluek, Kuliner Pidie

Sebagai daerah yang sudah terbentuk sejak sebelum kemerdekaan, Pidie terkenal dengan ragam adat dan budayanya. Mulai dari adat yang berkaitan dengan kepercayaan (seperti khanduri Blang, Khanduri tulak bala, dll), adat yang berkaitan dengan keagamaan (peusijuek, mulod, dll) sampai dengan adat yang berkaitan dengan kebiasaan sehari-hari.

Namun siapa yang menyangka, jika daerah penghasil tokoh-tokoh berpengaruh di Aceh dan Indonesia ini seperti Tgk. Chiek di Tiro, Tgk Dauh Beureueh, Hasan di Tiro, Aly Hasjmy, juga memiliki ragam makanan khas yang tentunya berbeda dan tidak sama dengan daerah lainnya.

Sederetan makanan khas Pidie antara lain yaitu Emping melinjo, Apam, Timphan, Beureune dan Halua Bluek. Untuk katagori makanan yang pertama sampai ketiga Emping, Apam dan Timphan mungkin sudah menjadi hal yang sangat familiar di telinga anda semua khususnya ditelinga warga Pidie sendiri. Sebab, ketiga makanan tersebut sudah lazim di promosikan dalam acara-acara besar, semisal ketika menyambut tamu dari luar daerah Pidie.

Sedangkan untuk kedua makanan yang tersebut di akhir –Beureunee dan Halua Bluek—saya yakin masih banyak sekali yang belum mengenalinya. Bahkan, (mungkin) warga Pidie sendiri juga tidak mengetahui bahwa kedua makan tersebut Beureunee dan Halua Bluek merupakan makanan khas Pidie.

Beureune (sering juga disebut Sagu Beureune) merupakan makanan tradisional yang dibuat dari hasil olahan pohon sagu, digonseng, kemudian dipilah-pilang dengan bantuan Tampi (Aceh; Jeu-ee) hingga berbentuk butiran-butiran kecil seukuran biji kacang hijau. Sedangkan Halua terbuat dari bahan baku dasar tepung ketan, tepung gandung, gula dan santan. Tekstur mirip dengan kue dodol. Namun dari segi warnanya yang berbeda, Halua berwarna merah pekat dan padat.

Beureune dan Halua Bluek merupakan makanan khas Pidie, yang hari ini gaungnya sudah kurang dikenal oleh masyarakat. Masyarakat hari ini, terlebih (mungkin) karena masuknya nilai-nilai global beserta makanan-makanan yang bersifat global seperti KFC dan Pizza, yang kesannya memiliki prestis yang lebih tinggi jika menyantapnya menjadikan makanan lokal terabaikan. Sehingga makanan daerah seperti Beureune dan Halua Bluek  tersebut kian terpinggirkan.

Tentu ini merupakan sesuatu yang ironis, karena jika sikap tersebut dipertahankan bisa saja atau memungkinkan makanan khas daerah itu hilang dari peredaran dan menjadi kenangan di masa depan.

Nah, tersebab itu pula, dalam artikel ini, saya berkeinginan untuk menyebarluaskan suatu pengetahuan mengenai salah satu makanan khas Pidie, yaitu Halua Bluek. Sedangkan untuk Beureune biarkan lain kali saja saya tulis.

Halua Bluek, merupakan salah satu makanan khas Pidie yang hanya diproduksi oleh masyarakat yang bertempat di mukim Bluek, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie, Aceh. Mukim Bluek terdiri dari puluhan desa yang terbagi kedalam tiga kemesjidan: kemesjidan Bluek Grong-Grong, kemesjidan Bluek Gle Cut, dan kemesjidan Bluek Ulee Gampong.

Belakangan ini masyarakat yang memiliki skill dalam membuat Halua Bluek terkonsentrasi di desa Bluek Balee Baroh (juga dikenal dengan nama Bluek Halua) dan di desa Bluek Lamreuneung. Kalaupun di berbagai desa lain dijumpai warga yang mampu membuat Halua Bluek, maka dipastikan warga tersebut berasal atau pindahan dari kedua desa tersebut.

Halua Bluek sebagaimana saya sebutkan diawal, terbuat dari tepung terigu, tepun ketan, santan, gula dan air mineral. Halua Bluek hampir sama dan mirip dengan makanan khas Aceh lainnya, yaitu dodol. Hanya saja perbedaannya adalah pada tekstur dan warnanya. Jika dodol tekturnya agak lembut dan agar cair serta bewarna kuning cerah, maka Halua Bluek tekturnya agak lebih keras dan warnanya agak kuning kemerah-merahan.

Dilihat sepintas, antara dodol dan Halua Bluek tidak ada perbedaan sama sekali. Namun ketika mendekatinya (menyentuh atau memakannya) baru diketahui antara dodol dan Halua Bluek memang memiliki perbedaan.

Dari segi pembuatan atau cara memasaknya, Halua Bluek tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Untuk memasak Halua Bluek membutuhkan tehnik khusus dan harus orang yang cukup berpengalaman. Jika tidak, Halua Bluek tersebut akan menjadi sesuatu yang lain, yang tak bisa dimakan.

Ini dikarenakan dalam memasak Halua Bluek, dilakukan dalam bejana yang besar, kemudian harus ada satu orang yang mengaduknya secara berkala. Sembari di aduk, ditambahkan santan atau tepung dengan takaran yang sudah ditentukan.

Tak jarang, karena dimasak oleh bukan ahlinya atau belum berpengalaman, Halua Bluek menjadi makanan yang gagal; tak bisa dimakan. Kemudian ada juga kejadian, meskipun dimasak oleh orang berpengalaman, namun Halua Blueknya tidak sesuai dengan harapan, karena teksturnya lembek seperti dodol.

 

Untuk itu pula, lazimnya seorang ahli masak Halua Bluek, jauh-jauh hari mereka akan mencari kelapa khusus untuk diparut dan diambil santannya. Mereka menyebutnya dengan istilah ‘u  bungong jeumpa’. Setelah didapati kelapanya akan di simpan dulu, sampai kemudian pada waktu tertentu baru kelapanya di belah dan diparut untuk diambil santannya. 

Memasak Halua Bluek memang boleh di sembarang waktu, misalnya tanpa terikat sanksi atau adat tertentu. Namun demikian, bagi masyarakat Pidie memasak Halua Bluek punya hari-hari khusus juga. Seperti pada hari-hari besar dalam Islam, dan pada hari-hari pekan rakyat. Namun demikian, masyarakat Pidie umumnya memasak Halua Bluek saat tibanya hari Megang Puasa dan Megang Lebaran.

Yang uniknya lagi, skill memasak Halua Bluek ini ternyata hanya dimiliki oleh sekelompok masyarakat yang ada di Pidie saja, yaitu masyarakat yang berada di kemukiman Bluek. Sedangkan masyarakat yang diluar teritorial mukim Bluek sangat jarang didapati yang mampu memasak Halua Bluek. Kecuali memiliki hubungan keluarga dekat dengan warga mukim Bluek.

Konon, menurut beberapa tetua gampong yang ada di Bluek menjelaskan bahwa, skill memasak Halua Bluek yang dimiliki oleh masyarakat di mukim Bluek merupakan sebuah warisan yang didapatkan secara turun temurun. Jauh sebelum Nusantara ini merdeka dari penjajahan bangsa Kolonial, masyarakat di mukim Bluek sudah memiliki aktivitas memasak Halua Bluek. Sehingga kebanyakan masyarakat di Pidie juga menyebut Halua Bluek dengan nama Halua Bluek Bluek ada nama daerah pembuatnya di ujung.

Namun sayangnya, eksistensi Halua Bluek semakin tergerus oleh masa. Disamping tehnik produksi Halua Bluek masih bersifat tradisional dan kecintaan masyarakat terhadap makanan daerah (lokalnya) yang semakin menipis, eksistensi Halua Bluek kini semakin tenggelam. Untuk itu pula, peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam menjaga salah satu warisan budaya agar terus berkembang dan menjadi kebanggaan daerah.(ms)

Sumber Referensi:

http://aceh.tribunnews.com