Khamis, 23 Julai 2020
Makanan Meugah Merdu Dilei
Rabu, 15 Julai 2020
Dendam tidak akan dapat membangun negara, tapi memaafkan selalu menjadi jalan menuju kebangkitan sebuah bangsa.
Isnin, 13 Julai 2020
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan Undang Qori Aceh, lantunkan Al Qur'an di Hagia Shopia
Ahad, 12 Julai 2020
Demi Biayai Kuliah Si Cantik Tidak Malu Jadi Supir Angkot dan Kuli
Khamis, 9 Julai 2020
TERNYATA ORANG SUKSES BANYAK MUSUHNYA
Jangan Pernah Malu Terlahir Dari Orang Tua Miskin, Tetapi Malulah Jika Sudah Besar Masih Menyusahkan Orang Tua
Isnin, 6 Julai 2020
Baru Nikah Sepekan, Aisha Minta Cerai Karena ‘Burung’ Suami Kebesaran
Khamis, 2 Julai 2020
Alam memberi inspirasi untuk berbagi
Selasa, 30 Jun 2020
moto buis thon 70an nyo Hai rakan dalam cerita
Jumaat, 19 Jun 2020
Ikatan Guru Indonesia (IGI) Wilayah Aceh bersama kanal pelatihan Satu Guru Satu Buku (Sagusaku) menggelar Web Seminar (Webinar)
Rabu, 20 Mei 2020
Nasihat Buyung Kepada Seorang Guru
Jumaat, 1 Mei 2020
Tak Ada yang Abadi
Halua Bluek, Kuliner Pidie
Sebagai daerah yang sudah terbentuk sejak sebelum kemerdekaan, Pidie terkenal dengan ragam adat dan budayanya. Mulai dari adat yang berkaitan dengan kepercayaan (seperti khanduri Blang, Khanduri tulak bala, dll), adat yang berkaitan dengan keagamaan (peusijuek, mulod, dll) sampai dengan adat yang berkaitan dengan kebiasaan sehari-hari.
Namun siapa yang menyangka, jika daerah penghasil tokoh-tokoh berpengaruh di Aceh dan Indonesia ini seperti Tgk. Chiek di Tiro, Tgk Dauh Beureueh, Hasan di Tiro, Aly Hasjmy, juga memiliki ragam makanan khas yang tentunya berbeda dan tidak sama dengan daerah lainnya.
Sederetan makanan khas Pidie antara lain yaitu Emping melinjo, Apam, Timphan, Beureune dan Halua Bluek. Untuk katagori makanan yang pertama sampai ketiga Emping, Apam dan Timphan mungkin sudah menjadi hal yang sangat familiar di telinga anda semua khususnya ditelinga warga Pidie sendiri. Sebab, ketiga makanan tersebut sudah lazim di promosikan dalam acara-acara besar, semisal ketika menyambut tamu dari luar daerah Pidie.
Sedangkan untuk kedua makanan yang tersebut di akhir –Beureunee dan Halua Bluek—saya yakin masih banyak sekali yang belum mengenalinya. Bahkan, (mungkin) warga Pidie sendiri juga tidak mengetahui bahwa kedua makan tersebut Beureunee dan Halua Bluek merupakan makanan khas Pidie.
Beureune (sering juga disebut Sagu Beureune) merupakan makanan tradisional yang dibuat dari hasil olahan pohon sagu, digonseng, kemudian dipilah-pilang dengan bantuan Tampi (Aceh; Jeu-ee) hingga berbentuk butiran-butiran kecil seukuran biji kacang hijau. Sedangkan Halua terbuat dari bahan baku dasar tepung ketan, tepung gandung, gula dan santan. Tekstur mirip dengan kue dodol. Namun dari segi warnanya yang berbeda, Halua berwarna merah pekat dan padat.
Beureune dan Halua Bluek merupakan makanan khas Pidie, yang hari ini gaungnya sudah kurang dikenal oleh masyarakat. Masyarakat hari ini, terlebih (mungkin) karena masuknya nilai-nilai global beserta makanan-makanan yang bersifat global seperti KFC dan Pizza, yang kesannya memiliki prestis yang lebih tinggi jika menyantapnya menjadikan makanan lokal terabaikan. Sehingga makanan daerah seperti Beureune dan Halua Bluek tersebut kian terpinggirkan.
Tentu ini merupakan sesuatu yang ironis, karena jika sikap tersebut dipertahankan bisa saja atau memungkinkan makanan khas daerah itu hilang dari peredaran dan menjadi kenangan di masa depan.
Nah, tersebab itu pula, dalam artikel ini, saya berkeinginan untuk menyebarluaskan suatu pengetahuan mengenai salah satu makanan khas Pidie, yaitu Halua Bluek. Sedangkan untuk Beureune biarkan lain kali saja saya tulis.
Halua Bluek, merupakan salah satu makanan khas Pidie yang hanya diproduksi oleh masyarakat yang bertempat di mukim Bluek, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie, Aceh. Mukim Bluek terdiri dari puluhan desa yang terbagi kedalam tiga kemesjidan: kemesjidan Bluek Grong-Grong, kemesjidan Bluek Gle Cut, dan kemesjidan Bluek Ulee Gampong.
Belakangan ini masyarakat yang memiliki skill dalam membuat Halua Bluek terkonsentrasi di desa Bluek Balee Baroh (juga dikenal dengan nama Bluek Halua) dan di desa Bluek Lamreuneung. Kalaupun di berbagai desa lain dijumpai warga yang mampu membuat Halua Bluek, maka dipastikan warga tersebut berasal atau pindahan dari kedua desa tersebut.
Halua Bluek sebagaimana saya sebutkan diawal, terbuat dari tepung terigu, tepun ketan, santan, gula dan air mineral. Halua Bluek hampir sama dan mirip dengan makanan khas Aceh lainnya, yaitu dodol. Hanya saja perbedaannya adalah pada tekstur dan warnanya. Jika dodol tekturnya agak lembut dan agar cair serta bewarna kuning cerah, maka Halua Bluek tekturnya agak lebih keras dan warnanya agak kuning kemerah-merahan.
Dilihat sepintas, antara dodol dan Halua Bluek tidak ada perbedaan sama sekali. Namun ketika mendekatinya (menyentuh atau memakannya) baru diketahui antara dodol dan Halua Bluek memang memiliki perbedaan.
Dari segi pembuatan atau cara memasaknya, Halua Bluek tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Untuk memasak Halua Bluek membutuhkan tehnik khusus dan harus orang yang cukup berpengalaman. Jika tidak, Halua Bluek tersebut akan menjadi sesuatu yang lain, yang tak bisa dimakan.
Ini dikarenakan dalam memasak Halua Bluek, dilakukan dalam bejana yang besar, kemudian harus ada satu orang yang mengaduknya secara berkala. Sembari di aduk, ditambahkan santan atau tepung dengan takaran yang sudah ditentukan.
Tak jarang, karena dimasak oleh bukan ahlinya atau belum berpengalaman, Halua Bluek menjadi makanan yang gagal; tak bisa dimakan. Kemudian ada juga kejadian, meskipun dimasak oleh orang berpengalaman, namun Halua Blueknya tidak sesuai dengan harapan, karena teksturnya lembek seperti dodol.
Untuk itu pula, lazimnya seorang ahli masak Halua Bluek, jauh-jauh hari mereka akan mencari kelapa khusus untuk diparut dan diambil santannya. Mereka menyebutnya dengan istilah ‘u bungong jeumpa’. Setelah didapati kelapanya akan di simpan dulu, sampai kemudian pada waktu tertentu baru kelapanya di belah dan diparut untuk diambil santannya.
Memasak Halua Bluek memang boleh di sembarang waktu, misalnya tanpa terikat sanksi atau adat tertentu. Namun demikian, bagi masyarakat Pidie memasak Halua Bluek punya hari-hari khusus juga. Seperti pada hari-hari besar dalam Islam, dan pada hari-hari pekan rakyat. Namun demikian, masyarakat Pidie umumnya memasak Halua Bluek saat tibanya hari Megang Puasa dan Megang Lebaran.
Yang uniknya lagi, skill memasak Halua Bluek ini ternyata hanya dimiliki oleh sekelompok masyarakat yang ada di Pidie saja, yaitu masyarakat yang berada di kemukiman Bluek. Sedangkan masyarakat yang diluar teritorial mukim Bluek sangat jarang didapati yang mampu memasak Halua Bluek. Kecuali memiliki hubungan keluarga dekat dengan warga mukim Bluek.
Konon, menurut beberapa tetua gampong yang ada di Bluek menjelaskan bahwa, skill memasak Halua Bluek yang dimiliki oleh masyarakat di mukim Bluek merupakan sebuah warisan yang didapatkan secara turun temurun. Jauh sebelum Nusantara ini merdeka dari penjajahan bangsa Kolonial, masyarakat di mukim Bluek sudah memiliki aktivitas memasak Halua Bluek. Sehingga kebanyakan masyarakat di Pidie juga menyebut Halua Bluek dengan nama Halua Bluek Bluek ada nama daerah pembuatnya di ujung.
Namun sayangnya, eksistensi Halua Bluek semakin tergerus oleh masa. Disamping tehnik produksi Halua Bluek masih bersifat tradisional dan kecintaan masyarakat terhadap makanan daerah (lokalnya) yang semakin menipis, eksistensi Halua Bluek kini semakin tenggelam. Untuk itu pula, peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam menjaga salah satu warisan budaya agar terus berkembang dan menjadi kebanggaan daerah.(ms)
Sumber Referensi:
Khamis, 30 April 2020
Tugas Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Berdasar Perpres No 16 Tahun 2018
Pejabat Pembuat Komitmen atau yang biasa disingkat PPK dalam dunia pengadaan barang dan jasa adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk pengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara/anggaran belanja daerah (Pasal 1 angka 10 Perpres No.16 Tahun 2018). PPK dapat dijabat oleh pejabat struktural ataupun fungsional dengan tugas/kewenanngan dalam sebuah jabatan ASN.
Kegiatan pengadaan barang dan jasa yang berlandaskan pada kontrak/perjanjian, merupakan kegiatan yang membutuhkan banyak pemahaman dan atau kemampuan mulai dari perencanaan pengadaan sampai selesainya pekerjaan yang terdiri dari tahapan perencanaan pengadaan, pelaksanaan pengadaan/pekerjaan dan pengendalian, penandatangan kontrak/perjanjian, dan melaporkan dan menyerahkan hasil pekerjaan. Sehingga PPK bertanggung jawab secara administrasi, teknis dan finansial terhadap pengadaan barang dan jasa.
Dengan demikian PPK mewakili SKPD-nya dalam membuat perikatan atau perjanjian dengan pihak lain, tanpa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) berarti instansi tersebut tidak bisa melakukan perjanjian dengan pihak lain. Berhasil dan tidaknya proses suatu pengadaan barang dan jasa pada satu instansi tergantung pada Pejabat Pembuat Komitmen. Ini berarti bahwa tugas pokok Pejabat Pembuat Komitmen berkaitan erat dengan penggunaan anggaran negara atau pengelolaan keuangan, karena itu dalam pelaksanaannya menuntut suatu keahlian dan ketelitian serta tanggung jawab yang berbeda dengan tugas pokok seorang pegawai administrasi lainnya. Kesalahan dalam pelaksanaan tugas PPK akan berakibat timbulnya kerugian negara yang berujung pada tuntutan ganti rugi atau tuntutan lainnya.
Di era lama, orang menganggap jabatan PPK merupakan "lahan basah", karena ‘memakmurkan’ orang yang menjabatnya. Sehingga banyak pejabat struktural kadang berlomba-lomba untuk menjadi PPK. Tetapi di era reformasi saat ini, jabatan PPK menjadi momok bagi birokrat. Alasannya tidak lain karena PPK sangat rentan dengan masalah hukum, terkait dengan pelaksanaan kontrak. Akan sangat lazim kita jumpai kasus tindak pidana korupsi terkait Pengadaan Barang/Jasa, pastilah menyeret PPK dan penyedia barang/jasa. Hal ini merupakan konsekuensi yuridis dari dokumen kontrak yang dibuat oleh PPK dan Penyedia.
Personil kegiatan pengadaan sendiri antara lain PA/KPA, PPK, Unit Layanan Pengadaan, Panitia Pengadaan, Pejabat Pengadaan dan Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan. Perubahan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah menjadi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebabkan adanya perubahan tugas Perjabat Pembuat Komitmen (PPK). Di bawah ini akan dijelaskan mengenai pembahasan tugas pokok dan wewenang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) berdasar Perpres No. 16 Tahun 2018.
Tugas Pokok dan Wewenang PPK (Perpres 16/2018, Pasal 11)
PPK dalam Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c memiliki tugas:
menyusun perencanaan pengadaan;
menetapkan spesifikasi teknis/Kerangka Acuan Kerja (KAK);
menetapkan rancangan kontrak;
menetapkan HPS;
menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia;
mengusulkan perubahan jadwal kegiatan;
menetapkan tim pendukung;
menetapkan tim atau tenaga ahli;
melaksanakan E-purchasing untuk nilai paling sedikit di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
menetapkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
mengendalikan Kontrak;
melaporkan pelaksanaan dan penyelesaian kegiatan kepada PA/ KPA;
menyerahkan hasil pekerjaan pelaksanaan kegiatan kepada PA/ KPA dengan berita acara penyerahan;
menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan kegiatan; dan
menilai kinerja Penyedia.
Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPK melaksanakan tugas pelimpahan kewenangan dari PA/ KPA, meliputi:
melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja; dan
mengadakan dan menetapkan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran belanja yang telah ditetapkan.
PPK dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh Pengelola Pengadaan Barang/Jasa.
Beberapa Catatan Kesimpulan Tugas PPK sebagai berikut;
Menyusun Perencanaan pengadaan = menyusun spek, HPS dan rancangan kontrak
Menetapkan tim pendukung seperti tenaga administrasi, direksi lapangan, direksi teknis
Menetapkan tim atau tenaga ahli yaitu tim atau orang yang kompeten
melaporkan pelaksanaan dan penyelesaian kegiatan kepada PA/ KPA, untuk Prepres 16/2018 serah terima dengan penyedia dilakukan oleh PPK ( bukan oleh PPHP lagi), maka PPK dapat melakukan sendiri, atau dibantu tim pendukung, tim atau tenaga ahli dan atau konsultan pengawas
Melaksanakan E-purchasing = PPK dapat langsung bertransaksi produk-produk katalaog. PPK bisa melakukan sendiri epurchasing. Sedangkan nilai s.d Rp 200jt oleh pejabat pengadaan
Menilai kinerja Penyedia yaitu menilai pelaksanaan kontrak oleh penyedia
PPK dapat dibantu oleh Pengelola pengadaan barang / jasa = dibantu oleh jabatan fungsional pengadaan barang/jasa
Catatan :
PPK ditetapkan oleh PA (Pengguna Anggaran), Pasal 9 Ayat 1 huruf g Perpres 16/2108 ;
PPK memiliki kewenangan menandatangani kontrak sebagai pelimpahan kewenangan dari PA/KPA ;
Dalam hal tidak ada personel yang dapat ditunjuk, KPA dapat merangkap sebagai PPK ;
PPK dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh Pengelola Pengadaan Barang/Jasa ;
Setelah Pekerjaan selesai 100%, PPK memeriksa, menerima Pekerjaan dan menandatangani Berita Acara Serah Terima.
PPK menetapkan Pengenaan sanksi denda keterlambatan dalam Kontrak sebesar satu permil dari nilai kontrak atau nilai bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan ;
PPK wajib memiliki sertifikat kompetensi di bidang pengadaan barang/jasa paling lambat Desember 2023 ;
PPK dapat mengusulkan Pengenaan Sanksi Daftar Hitam ;
PPK dapat dibantu oleh Pengeolal Pengadaan.
Tugas-tugas lain dari PPK selain tersebut di atas antara lain :
Mengusulkan kepada PA/KPA :
Perubahan paket pekerjaan, dan/atau
Perubahan jadwal kegiatan pengadaan
Menetapkan tim pendukung
Menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis (aanwijzer) untuk membantu pelaksanaan tugas Unit Layanan Pengadaan
Menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada penyedia barang/jasa.
Sedangkan berdasarkan pasal 13 Perpres No. 54 Tahun 2010, PPK dilarang mengadakan ikatan perjanjian atau menandatangani kontrak dengan penyedia barang/jasa apabila belum tersedia anggaran atau tidak cukup tersedia anggaran yang dapat mengakibatkn dilampauinya batas anggaran yang tersedia untuk kegiatan yang dibiayai dari APBN/APBD.